Sejak dikembangkannya perangkat
lunak Netscape pada awal dekade 1990‐an,
internet menjadi bagian dari gaya hidup baru di seluruh dunia. Perangkat lunak
tersebut memungkinkan para pengguna internet yang semula berbasis teks (text‐based internet) untuk
beralih menikmati kecanggihan pertukaran informasi berbasis gambar (graphic‐based internet).
Perkembangan perangkat keras dan perangkat lunak komputer berbasis gambar yang
sangat pesat menjadikan pengguna jasa internet menjadi semakin dimanjakan
dengan tampilan, isi informasi, fasilitas, serta unjuk kerja internet. Pengguna
internet dapat memanfaatkan perangkat lunak webbrowsing untuk mengakses
beraneka ragam informasi. Keragaman informasi inilah yang tampaknya menjadikan mereka
tahan berlama‐lama
di depan komputer. Mereka dapat melakukan browsing beragam informasi dari yang
berkaitan dengan pekerjaan, pendidikan, hobi, bisnis, dan bahkan situs yang
dikategorikan sebagai kegiatan yang dianggap negatif seperti misalnya, cybercrime
(hacking, cracking, dan carding), internet gambling, dan cybersex atau cyberporn.
Keragaman dan kemudahan yang ditawarkan internet menjadikan curahan waktu untuk
menggunakannya menjadi semakin meningkat. Peningkatan curahan waktu dan
penggunaan internet yang sangat intensif ini menimbulkan berbagai permasalahan
yang di kalangan para ahli psikologi dikenal antara lain sebagai kecanduan
internet (internet addiction).
Nurfajri (2012), Internet
Addiction (kecanduan internet) adalah suatu gangguan psikofisiologis yang
meliputi tolerance (penggunaan dalam jumlah yang sama akan menimbulkan respon
minimal, jumlah harus ditambah agar dapat membangkitkan kesenangan dalam jumlah
yang sama),whithdrawal symptoms (khususnya menimbulkan termor,
kecemasan, dan perubahan mood), gangguan afeksi (depresi, sulit menyesuaikan
diri), dan terganggunya kehidupan sosial (menurun atau hilang sama sekali, baik
dari segi kualitas maupun kuantitas).
Internet Addiction diartiakan
sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang
sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol
penggunaanya saat online. Orang-orang yang menunjukkan sindrom ini akan
merasa cemas, depresi, atau hampa saat tidak online diinternet.
Kecanduan
internet pertama
kali ditemukan oleh seorang ahli jiwa bernama Ivan Goldberg. Jenis kecanduan internet ada tiga
yaitu; bermain games yang berlebihan, kegemaran seksual dan e-mail/pesan teks
(chatting). Sedangkan gejala-gejala kecanduan internet adalah sebagai berikut:
a.
Sering
lupa waktu
Mengabaikan hal-hal yang mendasar
saat mengakses internet terlalu lama. Orang yang kecanduan internet bisa tidak
makan atau minum, lupa waktu sholat, belajar, sekolah atau bekerja.
b.
Gejala
menarik diri
Seperti merasa marah, tegang,
atau depresi ketika internet tidak bisa diakses. Mereka akan bete, kesal bahkan
stress jika tidak bisa online karena berbagai alasan.
c.
Munculnya
sebuah kebutuhan konstan untuk meningkatkan waktu yang dihabiskan.
Semakin lama jumlah waktu yang
dibutuhkan untuk mengakses internet terus bertambah.
d.
Kebutuhan
akan peralatan komputer yang lebih baik dan aplikasi yang lebih banyak untuk
dimiliki.
Mereka akan mengganti komputer
atau gadget untuk mengakses internet dengan yang lebih baik dan aplikasi
terbaru pasti akan terus diburu.
e.
Sering
berkomentar, berbohong, rendahnya prestasi, menutup diri secara sosial, dan
kelelahan.
Penggunaan istilah kecanduan di
dalam bahasa Indonesia tersebut memiliki kesamaan dengan konsep addiction yang
digunakan di dalam bidang psikiatri yang lebih dikenal sebagai Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM‐IV (American
Psychiatric Association,1995) dan sama pula dengan difinisi Chaplin (1975).
Pada prinsipnya, addiction berkaitan dengan ketergantungan seseorang
terhadap substance atau zat yang merugikan tubuh (substance abuse).
Sebagai sebuah istilah, kata ‘ketergantungan’ lebih sering digunakan di dalam
percakapan sehari‐hari
dibandingkan dengan kata ‘kecanduan’. Ketergantungan, atau di dalam bahasa Inggris
bersinonim dengan kata ‘dependence’, dianggap lebih sesuai untuk menggambarkan
kondisi seseorang yang mengalami dependensi terhadap zat‐zat adiktif. Davis
(2001) pun memaknai kecanduan (addiction) sebagai bentuk ketergantungan
secara psikologis antara seseorang dengan suatu stimulus, yang biasanya tidak
selalu berupa suatu benda atau zat. Di dalam DSM‐IV tidak digunakan kata atau istilah addiction
untuk menggambarkan penggunaan secara patologis atau berlebihan pada suatu
stimulus. DSM‐IV
menggunakan istilah dependence untuk kecanduan pada suatu stimulus
secara pathological, misalnya ketergantungan untuk berjudi.
Babington dkk. (2002)
mengkategorikan kecanduan (addiction) ke dalam 3 kategori, yaitu
kecanduan yang dapat dikatakan sehat (healthy), kecanduan tidak sehat (unhealthy),
atau juga kecanduan yang merupakan kombinasi dari keduanya. Keasyikan dengan
hobi serta keinginan untuk menghabiskan banyak waktu untuk beraktivitas dalam
rangka belajar, kreativitas, dan mengekspresikan diri dapat dikatakan sebagai
kecanduan yang sehat. Namun, kecanduan yang patologik ditengarai dengan lebih
banyak sisi negatif antara lain karena ketidakmampuan untuk menggunakannya di
dunia nyata.
Kategorisasi yang dikembangkan oleh
Young (1999) didasarkan atas jenis aktivitas yang dilakukan para pengguna internet.
Kategorisasi yang searah dengan Young (1996) ini justru semakin berkembang.
Young membagi kecanduaninternet ke dalam lima kategori, yaitu:
a. Cybersexual
addiction, yaitu seseorang yang melakukan
penelusuran dalam situs‐situs
porno atau cybersex secara kompulsif
b. Cyber‐relationship
addiction, yaitu seseorang yang hanyut dalam pertemanan
melalui dunia cyber.
c. Net
compulsion, yaitu seseorang yang terobsesi pada situs‐situs perdagangan (cyber
shopping atau day trading) atau perjudian (cyber casino).
d. Information
overload, yaitu seseorang yang menelusuri situs‐situs informasi secara
kompulsif.
e. Computer
addiction, yaitu seseorang yang terobsesi pada permainan‐permainan online (online
games).
Davis (2001a) menyebutkan beberapa
jenis fasilitas pada internet yang dapat memicu ter jadinya kecanduan. Beberapa
fasilitas tersebut antara lain online sex, online games, online casino (perjudian),
online stock trading (bursa efek), dan online auctions (lelang). Dalam
tulisannya yang lain, Davis (2001b) menyebutkan dua jenis kecanduan internet,
yaitu kecanduaninternet spesifik (specific pathological internet use) untuk
menggambarkan seseorang yang kecanduan hanya pada satu macam fasilitas yang
ditawarkan oleh internet, dan kecanduan internet umum (generalized pathological
internet use) untuk menggambarkan seseorang yang kecanduan semua fasilitas yang
ditawarkan oleh internet secara keseluruhan.
Hasil suatu pendapat online oleh
salah satu internet provider di Jerman, yang diikuti oleh sekitar 1900
responden, menyatakan bahwa sekitar 12% responden menghabiskan waktu lebih dari
10 jam sehari untuk online, dan sekitar 13% responden mengaku
menghabiskan waktu 6-10 jam sehari untuk online. Di China, sekitar 6,4%
mahasiswanya mengalami kecanduan internet. Rata-rata, mereka menghabiskan 38,5
jam dalam seminggu untuk online. Sedangkan di Finlandia, banyak remaja
yang sedang menjalani wajib militer terpaksa dipulangkan, karena internet
addiction, dan tidak dapat beradaptasi dengan baik dengan remaja-remaja
lainnya. (Irawati, iprillia.multiply.com).
Ditemukan kasus di Amerika dimana
seseorang harus tidak lulus karena tidak pernah menghadiri kelas untuk sibuk
berinternet. Sedangkan untuk kasus di dalam negeri sendiri adalah seorang gadis
usia 12 tahun kabur dari rumahnya selama 2 minggu, selama itu gadis tersebut
mengaku tinggal disebuah warnet untuk memainkan game online (sumber:
Media Indonesia, 2008:7). Kebanyakan orang yang kecanduan internet ini
dikarenakan mereka menemukan kepuasan di internet, yang tidak mereka dapatkan
di dunia nyata. Internet telah membuat remaja kecanduan, karena di internet
menawarkan berbagai fasilitas informasi, mainan, dan hiburan yang membuat
remaja tidak ingin meninggalkan internet.
Ketidakmampuan seseorang dalam mengontol
diri untuk terkoneksi dengan internet dan melakukan kegiatan bersamanya adalah
cikal bakal dari lahirnya bentuk kecanduan ini, bahkan di Amerika Serikat
sendiri telah berdiri panti rehabilitasi untuk menyembuhkan bentuk kecanduan
khusus internet. Kebiasaan yang tidak terkendali memang terkadang dapat
menimbulkan petaka tersendiri bagi diri kita, dengan tidak bisa mengatur
lamanya durasi berinternet, menghabiskan waktu dan menghancurkan semua tanggung
jawab dalam kehidupannya.
Menurut Chaplin, (2001:450) self
control sebagai kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan
untuk menekan, merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. Di mana self
control ini penting untuk dikembangkan karena individu tidak hidup sendiri
melainkan bagian dari kelompok masyarakat. Individu mampu mengontrol diri
berarti individu memiliki self control. Gangguan self control pada
remaja yang menimbulkan kecanduan pada internet merupakan gangguan yang
dideskripsikan sebagai gangguan kontrol pada hasrat atau keinginan untuk
mengakses internet tanpa melibatkan penggunaan obat atau zat adiktif.
Pengguna internet yang mempunyai self
control yang tinggi akan mampu memandu, mengarahkan dan mengatur perilaku online.
Setiap individu yang mempunyai kontrol diri yang tinggi dapat mampu mengatur
penggunaan internet sehingga tidak tenggelam dalam internet, mampu menggunakan
internet sesuai dengan kebutuhan, mampu memadukan aktivitas online dengan
aktivitas-aktivitas lain dalam kehidupannya (Herlina Siwi, 2004, 9).
Sumber:
Heny
Nurmandia, Denok Wigati, dan Luluk Masluchah. 2013. Hubungan antara kemampuan sosialisasi dengan kecanduan jejaring sosial. Vol. 04
No. 02 Hal. 107-119
Sari
Dewi Yuhana Ningtyas. 2012. Hubungan
antara self control dengan internet addiction pada mahasiswa. Vol. 01
Soetjipto, Helly P. Pengujian validitas konstruk kriteria kecanduan internet. Vol. 32. No. 2. Hal. 74-91
0 komentar:
Posting Komentar